RadarMakassar.com – Pemilihan Wali Kota Makassar sudah lama usai. Namun, pasangan tunggal Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) sepertinya belum bisa move on. Gara-gara kalah lawan kotak kosong pada Pilwali lalu, Appi-Cicu kini menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi lewat kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra.
Materi gugatan tersebut berisi sengketa hasil Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Makassar atas nama peserta tunggal Pilwali Makassar, Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Mereka mempersoalkan Pasal 54D ayat 2 jo ayat 3 dan 4 UU Pilkada yang dinilai tidak memiliki hukum mengikat. Pasal yang dimaksud berbunyi:
Ayat 2, jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya. Ayat 3, pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat 2, diulang kembali pada tahun beriikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
“Pemilihan ulang nantinya tidak dibuka untuk semua orang peserta yang baru, melainkan hanya diadakan bagi satu pasangan calon, untuk kembali melawan Kolom Kosong untuk kedua kalinya,” demikian tafsir Yusril dalam pemohonannya itu.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Hukum Tata Negara, Prof Aminuddin Ilmar menilai, gugatan yang dilakukan tim Appi-Cicu akan sia-sia saja, sebab proses pilkada 2018 tidak dapat lagi diulang. Undang-undang sudah mengesahkan itu. “Tidak bisa. Meski pun mereka menggungat, kan sudah tertutup, tidak ada lagi yang bisa digugat. Jalan satu-satunya, ya harus menerima kekalahan,” ujar Guru Besar Unhas itu.
Aminuddin mengaku sangat menyayangkan langkah yang ditempuh tim hukum Appi-Cicu, menggunggat UU pilkada hanya akan menunjukkan etika politiknya. “Secara hukum tak ada larangan bagi mereka kembali maju, namun etika di mata masyarakat tentu berbeda,” jelasnya.
Belum lagi dari segi kemampuan, menurut Aminuddin, masyarakat di Indonesia pun sudah mengetahui, melawan kolom kosong saja mereka tidak mampu, apalagi bila ada lawannya. “Itulah mungkin yang menjadi salah satu alasan mereka menggugat,” bebernya.
Hal yang sama diungkapkan Pakar Kepemiluan, Mappinawang. Ia menilai, sebaiknya Appi-Cicu bisa bisa legowo. “Sudah lama selesai, apalagi yang akan digugat?,” katanya. Menurutnya, orang yang mengalami kekalahan pada Pemilu tentu tidak tidak akan menerima hal tersebut begitu saja. Mereka pasti akan mengupayakan jalan untuk bisa mendapatkan keuntungan dari situasi yang ada. Namun tidak seharusnya mengambil langkah yang justru bisa merugikan pihak sendiri. Ia menyarankan agar Appi-Cicu membuat pencitraan yang positif. Itu akan membuat masyarakat menjadi lebih mudah menerima mereka kembali untuk langkah-langkah politik selanjutnya.
“Secara pendidikan dan etika politik, tidak memberikan contoh yang baik pada masyarakat. Apalagi bila Appi mau kembali maju, tentu untuk memenangkan hati masyarakat bukan dengan cara seperti itu,” ujar Mappinawang.
Gugatan yang diambil tim Appi-Cicu karena kurangnya kedewasaan berpolitik. Selain itu, ia juga menunjukkan tidak adanya penghargaan terhadap proses yang dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pemilu. “Kalau semua orang berpikir setiap pemilu adalah kecurangan setelah mereka kalah, lalu menyalahkan proses dan penyelenggara, saya pikir sampai kapanpun kita tidak akan berhenti ribut,” lanjutnya. “Karena bila kembali ingin melawan kotak kosong pun, bukanlah satu satunya jalan keluar untuk memenangkan pilkada berikutnya. Kalah lagi, masa gugat lagi,” timpalnya.
Sebelumnya, kemenangan kotak kosong di Pilwalkot Makassar sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan Juli lalu. Namun, MK tetap memenangkan kotak kosong dan menolak gugatan dari Appi-Cicu. “Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” putus MK, Jumat (10/8/2018) lalu.
Kasus bermula saat Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAmi) dari bursa Pilwalkot Makassar. Alhasil, Pilwalkot hanya diikuti calon tunggal Appi-Cicu.
Putusan ini diketok oleh ketua majelis hakim agung Supandi dengan anggota Yudo Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono. Putusan itu diketok dengan suara bulat. Appi-Cicu kemudian melawan kotak kosong dan kalah. Berdasarkan data MK, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan suara yang ‘tidak setuju’ (kolom kosong) untuk dapat diajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Tahun 2018 adalah paling banyak 0,5% x 565.040 suara (total suara sah)= 2.825 suara. Dikonfirmasi, Appi bungkam. Telepon dan pesan whatsapp juga diabaikan. (and/pop)